Powered by Blogger.

Peserta CGP Angkatan 4 Kota Surakarta

Calon Guru Penggerak Mengikuti Lokakarya 3 di Hotel Royal Herritage Solo

Mural Untuk Solo Bangkit

Tergerak, Bergerak, Menggerakkan

Pengelolaan Kelas Daring di SMK N 6 Surakarta

Selama masa pandemi pembelajaran hanya bisa secara daring guru dituntut bisa menggunakan aplikasi meeting.

Kangguru Mas Guru

Filosofi Semar pada Pewayangan Jawa yang ngemong, momong dan tut wuri handayani .

Foto Section CGP angkatan 4 Kota Surakarta

Berlangsung di Lokakarya 3 - Hotel Royal Herritage Solo.

Foto Section CGP angkatan 4 Kota Surakarta

Berlangsung di Lokakarya 3 - Hotel Royal Herritage Solo.

Tuesday, December 21, 2021

Alur MERRDEKA (Pendidikan Guru Penggerak)

 

Alur MERRDEKA

Di dalam proses pelaksanaan PPGP, Calon Guru Penggerak (CGP) akan sering diajak untuk merefleksikan praktik pembelajaran yang sudah dijalankan serta berdiskusi dan berkolaborasi dengan sesama CGP maupun komunitas di sekitarnya. Keseluruhan pengalaman belajar itu diramu dalam siklus MERRDEKA.

Konsep MERRDEKA yang diawali dengan Mulai dari Diri, lalu dilanjutkan dengan Eksplorasi Konsep; Ruang Kolaborasi; Refleksi Terbimbing; Demonstrasi Kontekstual; Elaborasi Pemahaman; Koneksi Antarmateri; dan ditutup dengan Aksi Nyata. Diharapkan model pembelajaran yang berbasis pengalaman seperti ini dapat mewujudkan guru dan murid merdeka yang menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Berikut ini paket modul 1 guru penggerak
Paket Modul 1: Paradigma dan Visi Guru Penggerak
Nilai-nilai dan Peran Guru Penggerak
Visi Guru Penggerak
Budaya Positif

Modul 2 Guru Penggerak
Modul 2.1 Pembelajaran Berdiferensiasi
Modul 2.2. Pembelajaran Sosial dan Emosional
Modul 2.3. Coaching

Modul 3 Guru Penggerak
Modul 3.1 Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran
Modul 3.2 Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya
Modul 3.3 Pengelolaan Program Berdampak pada Murid

Sunday, December 19, 2021

1.4.a.9 Koneksi Antar Materi - Budaya Positif di Ekosistem Baru SMK Negeri 6 Surakarta

Budaya Positif di Ekosistem Baru

SMK Negeri 6 Surakarta

Oleh Darsono-CGP 04 Kota Surakarta



1.       Koneksi antar Materi dengan Budaya Positif

KHD menjelaskan bahwa tujuan pendidikan pada dasarnya adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan itu hanya dapat “menuntun tumbuh kembangnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki laku nya (bukan dasarnya).

Dalam menuntun laku kodrat anak, KHD mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun yang menyemai dan menyirami tanaman tiap hari hingga tumbuh daun buah-buahan yang indah dan enak. Anak bagaikan biji yang disemai di tempat yang subur dengan iklim yang cocok hingga tumbuh dan berbuah dengan baik karena perhatian dan perawatan dari pak tani. Demikian sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal.

Proses “menuntun” anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai “pamong” dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang “pamong” dapat memberikan tuntunan agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar KHD juga mengingatkan para pendidik untuk tetap terbuka namun tetap waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

Mengemas filosofi KHD yang demikian luhur dalam mendidik anak yakni “Ing ngarso sun tulodho, ing madya mangun karso dan tut wuri handayani” membutuhkan peran guru yang tidak ringan. Dibutuhkan guru yang tergerak, bergerak dan menggerakkan ekosistem sebagai kurikulum berubah saja tidak cukup, gurulah yang harus berperan. Oleh karena itu diperlukan peran guru penggerak untuk pencapaian paradigma baru ini yakni guru yang memiliki 5 peran penting meliputi pemimpin pembelajaran, menggerakkan komunitas praktisi, mendorong kolaborasi antar guru, menjadi coach bagi guru lain, dan mewujudkan kepemimpinan murid. Guru penggerak berfokus pada peran kepemimpinan pembelajaran agar mampu mendorong tumbuh kembang peserta didik secara holistik, aktif dan pro aktif dalam mengembangkan pendidik lainnya untuk mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik; serta menjadi teladan dan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila. Dalam memerankan perannya tetap berpijak pada 5 (lima) nilai guru penggerak yakni berpihak pada murid, mandiri, kolaboratif, reflektif dan inovatif. Dalam menjalankan nilai dan peran guru penggerak berfilosofi KHD inilah guru mengelaborasi menggunakan pendekatan BAGJA (Inquiry Apresiatif) yakni membuat daftar pertanyaan yang mengajak peserta didik memberikan sumbangsih ide untuk menjalankan roda belajar yang menarik dan berkesan serta memudahkan mereka berkembang dengan baik. 

Transformasi pendidikan melalui peran dan nilai guru penggerak melakukan perubahan paradigma mengembangkan budaya positif di sekolah sebagai ekosistem belajar yang ramah, sehat dan menyenangkan dimulai dari pembentukan budaya positif berbasis karakter profil Pelajar Pancasila. Dalam alur relasi budaya positif digambarkan sebagai berikut :

Gambar Olahan Penulis dari Berbagai Sumber

2. Refleksi mengenai keseluruhan budaya positif

Setelah mempelajari mengenai budaya positif orang yang meliputi konsep disiplin positif dan motivasi, keyakinan kelas, pemenuhan kebutuhan dasar, lima posisi control, dan yang terakhir adalah segitiga restitusi menurut saya materi ini sangat penting sebagai pendidik, ini adalah materi psikologi pendidikan yang lama tidak tersentuh karena pendekatan pendidikan SMK yang cenderung industrialis kapitalis bukan menghidupkan karakter yang diamanatkan KHD yakni membumikan kodrat murid layaknya menumbuhkan semangat yang lahir dari diri sendiri, lebih kuat ke arah hardskill daripada ke arah softskill, lebih mendewakan prestasi daripada pencapaian kodrati. Dalam sekolah sebagai ladang hijau tempat ditanam benih-benih anak bangsa yang akan menjadi generasi penerus perjuangan bangsa diperlukan ekosistem belajar yang nyaman, senang, damai serta kondusif membuat tebaran asupan gizi dan vitamin inovasi, kreatif, gotong royong dan tetep memegang teguh keyakinannya sebagai insan beragama.

Budaya positif di ekosistem sekolah dihidupkan bersama-sama peserta didik dilibatkan dalam banyak hal, memberi masukan, memberi keyakinan kelas, menciptakan kesepakatan kelas yang produktif bukan dari guru atau sekolah tetapi dari siswa secara mandiri. Menghidupkan kegiatan berbasis kekaryaan dan kreativitas dalam program P5BK (Program Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Budaya Kerja) dengan menggabungkan kegiatan exschool secara kolaboratif sehingga efisien dan efektif untuk diukur pencapaiannya.

Di sekolah kami (SMKN 6 Surakarta) selalu mengadakan literasi pagi yakni kegiatan di jam pertama membaca Al-Qur’an, menyanyikan lagu Indonesia Raya (3 Stanza), sedikit motivasi disertai doa kebaikan. Kemudian setiap Jumat ada kegiatan yang dinamakan Jumat sehat, Jumat bersih, Jumat motivasi dan Jumat Religi telah berjalan dengan baik walaupun perlu pengembangan dan perbaikan.

Sebelum menjadi Calon Guru Penggerak dulu saya guru idealis selalu menerapkan standar tinggi dalam penugasan sesuai dengan standar industri yakni Just in Time (JIS) dan JOS (Just On Time) serta kerja dibawah tekanan seperti tidak sepenuhnya dibenarkan dalam pendekatan belajar Merdeka yang sedang saya pelajari. Tetapi di pikiran saya juga terjadi dilema tingkat tinggi yakni industri tempat peserta didik akan memasuki lapangan kerja sangat menerapkan budaya kerja seperti itu (budaya disiplin dengan aturan sangat ketat, budaya makan dan antri, budaya kerja datang tepat waktu dan menyelesaikan pekerjaan dengan kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas). Jika pendekatan belajar merdeka seperti memerdekakan murid dengan among bisa saja disalahartikan dengan kerja santai, kerja asal siswa senang, kerja yang penting digarap pasti bukan seperti ini adanya.

Harapan saya sebenarnya konsistensi budaya positif yang diterapkan sekolah sama dan sinkron dengan budaya kerja yang diterapkan di industri, sehingga peserta didik bisa bekerja sesuai standar yang diterapkan industri atau setidaknya bisa mandiri sesuai kinerja berbudaya disiplin tinggi yakni tekun, rajin, hemat, taat, taqwa, komitmen, integritas, jujur, kerjasama, rukun kompak, amanat sehingga visi guru penggerak tercapai murid/peserta didiknya belajar dengan etos belajar yang tinggi.

 Penerapan disiplin di sekolah selama ini diasosiasikan dengan pendekatan peraturan, tata tertib, pelanggaran, hukuman dan sanksi pada satu sisi siswa seperti obyek penderita yang harus nuruti, patuti, taati, tertibkan, amankan tanpa ada keberpihakan siswa untuk mengungkapkan keinginan, keyakinan, kepercayaan dan masukan sebagai tempat bermain dan belajarnya. Gambar di bawah ini saya ambil dari www.sriwidiyastuti.com yang menjelaskan penerapan disiplin yang salah bisa mengakibatkan siswa murung, minder, tidak percaya diri dan cenderung menutup diri karena perasaan bersalah yang berlebihan tanpa pembelaan dari pihak ekosistem belajar.


Sumber : www.sriwidiyastuti.com

Kita wajib memahami kebutuhan dasar manusia selain kebutuhan dasar meliputi Bertahan hidup Cinta Kasih sayang, Penguasaan, Kesenangan dan Kebebasan, kebutuhan pangan, sandang, papan, latihan, jaminan, kesehatan,istirahat dan kebutuhan biologis. Gambar di bawah menunjukkan sebaran kebutuhan dasar manusia (diambil dari referansi internet)


Sumber : https://peacegen.id/


Sebagai manusia kita tidak bisa mengontrol orang lain, yang bisa kita lakukan adalah membangun komunikasi yang sejajar guna menumbuhkan kesadaran internal bukan kontrol dari luar itulah belajar disiplin positif dari postcast.


 Sumber : https://peacegen.id/

Kita hanya bisa menjadi teman, pemantau, manager dan penghukum serta pembuat orang merasa bersalah. Jadi bila ada kasus yang muncul di tengah-tengah ekosistem belajar bukanlah kasusnya saja yang terselesaikan tetapi dibalik itu ada “gunung es” yang melatarbelakangi” masalah tersebut muncul ke permukaan.


Sumber : https://peacegen.id/

Kita sebagai orang dewasa yang mengamong peserta didik hanya bisa menggunakan cara-cara elegan cara-cara dewasa dengan kendalikan diri bukan kontrol orang lain sebagaimana gambar di bawah ini. Bermain adalah naluri anak-anak dari PAUD, TK hingga SMA bahwa Mahasiswa dan orang tua, hanya dalam perspektif yang berbeda saja mereka bisa belajar sambil bermain atau bermain dengan belajar, pendekatan seperti ini yang sebaiknya dikembangkan.


 Sumber : https://peacegen.id/

Jika di SMK kita mengenal belajar itu diawali dari minat-bakat bukan dari niat dan nekat. Belajar dilandasi kesukaan, kegemaran, hobby dan membangun citra diri (passion). Yang orang dewasa lakukan adalah memahami bukan menghakimi karena tahu kalau yang terjadi adalah kemunculan gunung es masalah yang nampak di permukaan, masalah sesungguhnya ada di dasar laut (badannya gunung es) yang sebenarnya lebih perlu dibahas dicarikan solusi.


Sumber : Keluarga Kita

Gambar saya ambil dari internet keluarga kita tentang pujian, tak jarang kita menerapkan disiplin dengan cara menangani kesalahan yang dilakukan anak, padahal pencegahan jauh lebih efektif dalam hal ini pujian lebih efektif menjadi alat “disiplin positif” yang bisa diterapkan di sekolah kita karena memberikan pembelajaran bagi kita.


Tabel 3 Rancangan Tindakan Aksi Nyata

 

Judul Modul          : Budaya Positif

Nama Peserta        : Darsono

 Latar Belakang:

Sering saya jumpai siswa yang tidak memiliki komputer/alat atau laptop menjadi alasan molornya tugas-tugas siswa sebagai alasan klasik yang menaun dan membuat guru repot saat mereka harus menerima raport dengan nilai prestasi yang baik. Oleh karena itu saya merencanakan mengadakan pendampingan/tutoring coaching pada siswa yang terlambat menyelesaikan pekerjaan, melalui pendekatan personal/individual sebagaimana siswa telah membuat keyakinan kelas sendiri beberapa hari yang lalu melalui media Google Form disimpulkan bahwa siswa menginginkan pendampingan guru secara personal karena kemampuan mereka berbeda-beda. Artinya ini adalah tindak lanjut dari “keyakinan kelas” yang telah dibuat di hari lalu dan akan direalisasikan.

Lini masa:

1.       Cara berdiskusi dengan kapro Multimedia/DKV dan teman sejawat

2.       Berdiskusi dengan kepala lab untuk peminjaman alat/komputer dalam waktu tertentu.

3.       Meminta dukungan wali kelas dan guru BK supaya diberi kelancaran

4.       Pemberitahuan orang tua/wali siswa supaya diberi ijin pulang agak terlambat karena mengerjakan tugas di sekolah.

5.       Meminta ijin kepala sekolah dan jajaran atas penggunaan fasilitas sampai melebihi jam KBM agar pekerjaan siswa terselesaikan.

 

Tujuan:

  1. Siswa menyelesaikan tugas materi aplikasi SAC dengan senang hati, tidak terbebani dan hasilnya optimal
  2. Siswa difasilitasi alat yang memadai agar merasa diperhatikan dan dilayani
  3. Siswa diberi kebebasan berkarya dan berkolaborasi mengembangkan ide tanpa beban dengan pendampingan
  4. Siswa merasa dilayani dengan baik oleh gurunya.

Dukungan yang dibutuhkan:

  1. Orang tua/wali siswa
  2. Kepala sekolah
  3. Waka dan jajaranya
  4. Kapro dan kepala bengkel
  5. Ka TU dan jajarannya
  6. Alat dan sarana prasarana sekolah

Tolak Ukur:

  1. Siswa mempunyai niat mengerjakan tugas sepenuh hati
  2. Siswa bersedia bekerja/ belajar lebih dari jam KBM
  3. Siswa menghasilkan karya aplikasi SAC yang layak digunakan orang lain sebagai media digital (media belajar)

 Lain-lain :

Rancangan ini dapat berubah mengingat situasi dan kondisi di lapangan.

 

 

Daftar Pustaka :

https://www.imrantululi.net/berita/detail/refleksi-filosofis-pendidikan-nasional-ki-hadjar-dewantara /  tgl 18 Desember 2021

Belajar budaya positif : https://peacegen.id/podcast-disiplin-positif-prinsip-5-memahami-bukan-menghakimi/