KIDUNG
KERAMAT HIDUP
Oleh : Darsono, Guru SMKN 6 Surakarta
Aku lahir dan
dibesarkan oleh seorang ibu yang sangat tangguh, walau kadang rapuh karena
suatu ketika ku jumpai dia menangis sendiri dan mengusap air matanya. Di usiaku
memasuki tahun ke-10 bapakku meninggal dunia, hanya ibulah satu-satunya
penopang hidup lima bersaudaraku. Usaha di pasar sebagai penjual sayur mayur
dengan penghasilan yang tidak menentu ibuku harus bisa mencukupi kebutuhan
sehari-hari lengkap dengan kebutuhan sekolah anak-anaknya, sungguh perjuangan
yang tidak bisa diukur dengan apapun.
Suatu hari kita tidak
memiliki beras untuk makan anak-anaknya ibuku hanya bisa memasak nasi kemarin
yang dimasak ulang dengan lauk hanya “sambal parut kelapa”. Bagiku itu sudah
cukup nikmat, karena memang itu adanya. Ibuku hanya bilang, “onone sego nget-ngetan karo sambel klopo yo nak?” wis sak onone yo
?” Adanya nasi dimasak ulang, sama sambel kelapa, sudah se adanya, ya nak
?” Demikian kalimat yang ku ingat sampai saat ini. Apa mau dikata, hidup harus
terus dijalani sebagai bagian dari fitrah manusia di dunia.
Yang ku ingat, ibuku
bilang, “ Besok kalau sudah besar, sudah punya gaji, bantu adik-adikmu ya ?”
pintanya. “Ibu hanya bisa seperti ini, hutang banyak, jualan digusur, modal
tidak ada ya seperti ini adanya !”. “Tapi ibu yakin kelak kalian bisa mandiri
semua, bisa punya “bojo“ semua dan
punya anak yang banyak !” Harapan sang ibu.
Aku anak nomor empat
dari lima bersaudara yang ditinggal pergi sama tiga kakak-kakaknya karena
meraunta ke luar kota namun pekerjaannya belum layak dikatakan berhasil. Karena
kakak-kakakku ada yang lulusan STM, SMP dan SD saja, sehingga usaha atau
pekerjaannya pun belum bisa menopang keluarga. Jadi tetap saja ibu sendirian
bersama kedua anaknya yang masih SD dan SMP diramutnya.
Ibu
selalu berbuat baik sama tetangga, kawan-kawan yang di pasar, sedulur jauh, kawan saudaranya,
harapannya kelak jika kita bergaul sama mereka anak-anaknya ditolong Allah
lewat tangan-tangan mereka. Ibu mengingatkan kami jika seorang itu bicaralah
yang baik-baik, bila tidak bisa lebih baik diam, karena “omongan, “ngendikan”, ucapan adalah doa. Ibu berkisah pernah
dicoba rasa lapar yang sangat dan ini sudah menahun setelah sekian lama baru ku
dengar cerita ini. Ibuku diterima kerja di pabrik krupuk di desa sebelah agak
jauh, nasi bungkus jatah makan siangnya selalu tidak dia makan, disimpan
untukku yang pulang dari SMP (saat itu kelas 1 SMP). Bagiku yang masih kecil
belum banyak mengerti fenomena ini, nasi bungkus tiap hari ku makan, ku nikmati
dengan ria gembira karena di rumah juga selalu tidak ada makanan. Ternyata
makanan itu adalah jatah ibuku selama sekian tahun yang tidak bisa dinikmati
karena diberikan padaku sebagai makan siang dalam waktu yang lama. Jadi rupanya
ibu puasa tiap siang, hanya makan seadanya, lebih banyak tidak makannya.
Hujan deras di suatu sore sepulang ibu kerja dari pabrik krupuk itu diminta mampir oleh nenek untuk mengambil genting yang tidak dipakai untuk menambal genting di rumahku, perjalanan memang hanya 6 menit namun kondisi hujan lebat memakai sepeda ontel yang tua perjalanan berat dan jauh. Di tengah jalan, disebuah tikungan menurun sepeda ontel yang ku kendarai berboncengan dengan ibu yang membawa cukup banyak genting terjatuh terpeleset karena licinnya jalan. Sakit sekali, luka lututku, rusak sepeda tuaku, sakit yang sama tentu dirasakan ibuku. Tapi aneh dan mengherankan ibuku justru bilang “tidak apa-apa” kasihan kamu kesakitan?”. Ya Allah, bukannya ibu yang lebih sakit ??karena jatuh dari boncengan sepeda lebih dulu dengan membawa beban sejumlah genting dipangkuannya, tapi mengapa saat itu aku malah marah dan “ngomel” karena tidak hati-hati.
Sesampainya
di rumah aku tetep saja marah dan kesakitan, dalam kondisi itu ibu mencoba
menghibur, mengobatiku sekaligus sekali-kali memasang genting yang rusak yang
mengakibatkan bocor untuk diganti genting dari nenek. Tapi untuk kesekian
kalinya ibu betul-betul wanita perkasa, kuat menghadapi cobaan hidup, tidak
mengeluh, tidak ada keluh kesah di wajahnya, yang ada selalu mencoba memberi
yang terbaik untuk anak-anaknya.
Sampai
sekarang rumah ibuku masih seperti yang dulu, tembok papan, berlubang, sumur
tua bertembok karung goni dan disanggul bambu masih tetep kokoh berdiri.
Mungkin hanya kekuatan kidung doa ibulah yang bisa membuat semua barang-barang
di rumah ini awet sampai saat ini, atau karena kami, anak-anaknya yang tidak
mampu membangunkan rumah layak huni untuk ibuku. Gak taulah, yang pasti
kakak-kakakku juga bukan tidak mau membangun, bukan pula menghindar dari
tanggung jawab tapi semata-mata karena untuk menghidupi keluarganya saja masih
labil. Sedangkan aku yang hidup jauh dari kampung Batang hanya bisa menyisihkan
sekedar uang sebagai “pasif incomenya”,
itu saja tidak rutin. “Jahat benar aku ini”. Sesalku.
Tidak
ada henti-hentinya cobaan menerpa di hidup ibuku, di saat anak-anaknya dewasa
semua, masih saja ibu menghadapi masalah besar yaitu adik ragil yang sakit
kanker payudara yang terapi belum juga sembuh, hutang adik ragilku yang sangat
banyak dan dikejar-kejar “rentenir”,
dan sekarang mau tidak mau masalah ini juga menjadi masalahku, karena ibu hanya
berani “wadul” curhat padaku saja,
sedangkan curhat pada kakak-kakakku tidak berani, takut “dipaido”.
Rintihan
dan kidung ibu terdengar dari Batang hingga Solo ini tiap malam menjelang
tidurku, apa dayaku harus membantu sedangkan aku sendiri memiliki anak yang
banyak, enam anak yang kecil-kecil semuanya masih butuh biaya sekolah dan
kuliah, bekerja sebagai guru PNS masih sempat saya cari sambilan ikut bisnis online
dan organisasi ekonomi dengan harapan bisa mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi
kidung dan tangismu, ibu sampai ke kota ini sedang aku tidak bisa berbuat
banyak.
Mungkin
engkau menangis di hadapan Allah ya bu, hingga tangismu nyaring di sini,
mungkin juga engkau merintih susah ya bu, hingga kulit-kulitku ini merinding
terus, seperti ada kontak batin yang kuat bila engkau membutuhkanku. Tapi apa
dayaku ini, hanya bisa memberi semampuku. Atau mungkin engkau bercerita pada
malaikat malam jika anak-anakmu hanya bisa urus diri sendiri dan keluarganya
sedang urus satu ibu saja tidak mampu. Jika semua itu benar, anakmu hanya bisa
berharap kidung indahmu adalah doa termustajab yang selalu aku tunggu selalu ku
nanti terkabulnya doa. Kidungmu adalah keramat hidup, tidak lain tidak bukan
ibu adalah tempat dikabulkannya doa-doa. Hanya pada ibulah semua ikhtiar kita
bisa diijabah. Hanya seorang ibu yang
mampu mengurus 5 anaknya dengan ikhlas, sedangkan 5 anak belum tentu bisa urus
seorang ibu. Kidung ibu keramatnya hidup teteplah nyaring mendoakanku,
anak-anakmu.
(((((((((((((((((SEKIAN))))))))))))