Powered by Blogger.

Saturday, August 14, 2021

Kidung Keramat Hidup

 

KIDUNG KERAMAT HIDUP

Oleh : Darsono, Guru SMKN 6 Surakarta

 Ketika memulai untaian kata-kata ini tanganku bergetar keras, jantungku seperti berhenti berdetak, air mataku seperti mau tercurah tapi ku tahan agar haru ini tidak dilihat oleh banyak orang, malu. Terkenang masa-masa sulit, masa penuh ketidakpastian, masa-masa kecil ku dulu yang mengharu biru dalam perjalanan hidupku.

Aku lahir dan dibesarkan oleh seorang ibu yang sangat tangguh, walau kadang rapuh karena suatu ketika ku jumpai dia menangis sendiri dan mengusap air matanya. Di usiaku memasuki tahun ke-10 bapakku meninggal dunia, hanya ibulah satu-satunya penopang hidup lima bersaudaraku. Usaha di pasar sebagai penjual sayur mayur dengan penghasilan yang tidak menentu ibuku harus bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari lengkap dengan kebutuhan sekolah anak-anaknya, sungguh perjuangan yang tidak bisa diukur dengan apapun.

Suatu hari kita tidak memiliki beras untuk makan anak-anaknya ibuku hanya bisa memasak nasi kemarin yang dimasak ulang dengan lauk hanya “sambal parut kelapa”. Bagiku itu sudah cukup nikmat, karena memang itu adanya. Ibuku hanya bilang, “onone sego nget-ngetan karo sambel klopo yo nak?” wis sak onone yo ?” Adanya nasi dimasak ulang, sama sambel kelapa, sudah se adanya, ya nak ?” Demikian kalimat yang ku ingat sampai saat ini. Apa mau dikata, hidup harus terus dijalani sebagai bagian dari fitrah manusia di dunia.

Yang ku ingat, ibuku bilang, “ Besok kalau sudah besar, sudah punya gaji, bantu adik-adikmu ya ?” pintanya. “Ibu hanya bisa seperti ini, hutang banyak, jualan digusur, modal tidak ada ya seperti ini adanya !”. “Tapi ibu yakin kelak kalian bisa mandiri semua, bisa punya “bojo“ semua dan punya anak yang banyak !” Harapan sang ibu.

Aku anak nomor empat dari lima bersaudara yang ditinggal pergi sama tiga kakak-kakaknya karena meraunta ke luar kota namun pekerjaannya belum layak dikatakan berhasil. Karena kakak-kakakku ada yang lulusan STM, SMP dan SD saja, sehingga usaha atau pekerjaannya pun belum bisa menopang keluarga. Jadi tetap saja ibu sendirian bersama kedua anaknya yang masih SD dan SMP diramutnya.

Ibu selalu berbuat baik sama tetangga, kawan-kawan yang di pasar, sedulur jauh, kawan saudaranya, harapannya kelak jika kita bergaul sama mereka anak-anaknya ditolong Allah lewat tangan-tangan mereka. Ibu mengingatkan kami jika seorang itu bicaralah yang baik-baik, bila tidak bisa lebih baik diam, karena “omongan, “ngendikan”, ucapan adalah doa. Ibu berkisah pernah dicoba rasa lapar yang sangat dan ini sudah menahun setelah sekian lama baru ku dengar cerita ini. Ibuku diterima kerja di pabrik krupuk di desa sebelah agak jauh, nasi bungkus jatah makan siangnya selalu tidak dia makan, disimpan untukku yang pulang dari SMP (saat itu kelas 1 SMP). Bagiku yang masih kecil belum banyak mengerti fenomena ini, nasi bungkus tiap hari ku makan, ku nikmati dengan ria gembira karena di rumah juga selalu tidak ada makanan. Ternyata makanan itu adalah jatah ibuku selama sekian tahun yang tidak bisa dinikmati karena diberikan padaku sebagai makan siang dalam waktu yang lama. Jadi rupanya ibu puasa tiap siang, hanya makan seadanya, lebih banyak tidak makannya.

Hujan deras di suatu sore sepulang ibu kerja dari pabrik krupuk itu diminta mampir oleh nenek untuk mengambil genting yang tidak dipakai untuk menambal genting di rumahku, perjalanan memang hanya 6 menit namun kondisi hujan lebat memakai sepeda ontel yang tua perjalanan berat dan jauh. Di tengah jalan, disebuah tikungan menurun sepeda ontel yang ku kendarai berboncengan dengan ibu yang membawa cukup banyak genting terjatuh terpeleset karena licinnya jalan. Sakit sekali, luka lututku, rusak sepeda tuaku, sakit yang sama tentu dirasakan ibuku. Tapi aneh dan mengherankan ibuku justru bilang “tidak apa-apa” kasihan kamu kesakitan?”. Ya Allah, bukannya ibu yang lebih sakit ??karena jatuh dari boncengan sepeda lebih dulu dengan membawa beban sejumlah genting dipangkuannya,  tapi mengapa saat itu aku malah marah dan “ngomel” karena tidak hati-hati.

Sesampainya di rumah aku tetep saja marah dan kesakitan, dalam kondisi itu ibu mencoba menghibur, mengobatiku sekaligus sekali-kali memasang genting yang rusak yang mengakibatkan bocor untuk diganti genting dari nenek. Tapi untuk kesekian kalinya ibu betul-betul wanita perkasa, kuat menghadapi cobaan hidup, tidak mengeluh, tidak ada keluh kesah di wajahnya, yang ada selalu mencoba memberi yang terbaik untuk anak-anaknya.

Sampai sekarang rumah ibuku masih seperti yang dulu, tembok papan, berlubang, sumur tua bertembok karung goni dan disanggul bambu masih tetep kokoh berdiri. Mungkin hanya kekuatan kidung doa ibulah yang bisa membuat semua barang-barang di rumah ini awet sampai saat ini, atau karena kami, anak-anaknya yang tidak mampu membangunkan rumah layak huni untuk ibuku. Gak taulah, yang pasti kakak-kakakku juga bukan tidak mau membangun, bukan pula menghindar dari tanggung jawab tapi semata-mata karena untuk menghidupi keluarganya saja masih labil. Sedangkan aku yang hidup jauh dari kampung Batang hanya bisa menyisihkan sekedar uang sebagai “pasif incomenya”, itu saja tidak rutin. “Jahat benar aku ini”. Sesalku.

Tidak ada henti-hentinya cobaan menerpa di hidup ibuku, di saat anak-anaknya dewasa semua, masih saja ibu menghadapi masalah besar yaitu adik ragil yang sakit kanker payudara yang terapi belum juga sembuh, hutang adik ragilku yang sangat banyak dan dikejar-kejar “rentenir”, dan sekarang mau tidak mau masalah ini juga menjadi masalahku, karena ibu hanya berani “wadul” curhat padaku saja, sedangkan curhat pada kakak-kakakku tidak berani, takut “dipaido”.

Rintihan dan kidung ibu terdengar dari Batang hingga Solo ini tiap malam menjelang tidurku, apa dayaku harus membantu sedangkan aku sendiri memiliki anak yang banyak, enam anak yang kecil-kecil semuanya masih butuh biaya sekolah dan kuliah, bekerja sebagai guru PNS masih sempat saya cari sambilan ikut bisnis online dan organisasi ekonomi dengan harapan bisa mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi kidung dan tangismu, ibu sampai ke kota ini sedang aku tidak bisa berbuat banyak.

Mungkin engkau menangis di hadapan Allah ya bu, hingga tangismu nyaring di sini, mungkin juga engkau merintih susah ya bu, hingga kulit-kulitku ini merinding terus, seperti ada kontak batin yang kuat bila engkau membutuhkanku. Tapi apa dayaku ini, hanya bisa memberi semampuku. Atau mungkin engkau bercerita pada malaikat malam jika anak-anakmu hanya bisa urus diri sendiri dan keluarganya sedang urus satu ibu saja tidak mampu. Jika semua itu benar, anakmu hanya bisa berharap kidung indahmu adalah doa termustajab yang selalu aku tunggu selalu ku nanti terkabulnya doa. Kidungmu adalah keramat hidup, tidak lain tidak bukan ibu adalah tempat dikabulkannya doa-doa. Hanya pada ibulah semua ikhtiar kita bisa diijabah. Hanya seorang ibu yang mampu mengurus 5 anaknya dengan ikhlas, sedangkan 5 anak belum tentu bisa urus seorang ibu. Kidung ibu keramatnya hidup teteplah nyaring mendoakanku, anak-anakmu.


Catatan : Telah dibukukan dalam judul Mutiara Kasih Ibu

  

(((((((((((((((((SEKIAN))))))))))))