TERPURUK ITU BUKAN TERBURUK
Oleh : P.Son
Malam
itu Amar kedatangan kawan senior di ruang kerjanya, warung internet (warnet), namanya
Anto,. Say Hallo dan mereka ngobrol tentang keseriusan bisnis warnet
saat itu yang naik daun di tahun itu (2002). Dari awal Amar sudah curiga
mengapa Anto datang malam-malam begini, pasti ada hal yang penting. Kalau tidak
kenapa datang, ini tidak biasanya ! Pikirnya. Benar saja, belum genap 30 menit
ngobrol Anto sudah mulai utik-utik warnet,
dia katakan kalau warnet ini juga ada perannya, ada partisipasinya saat itu.
Makanya dia berpesan kalau warnet ini dijaga yang benar agak kepercayaan yang
didapati Amar tidak luntur. Menurutnya,
“
Ada yang bilang kalau kamu sudah mulai tidak dipercaya atasan!” Katanya
menghardik. Kontan saja Amar langsung
bertanya
“Kata siapa Tok? Siapa yang bilang?” Tanya
Amar.
“Ada
deh, makanya kamu bisa tanya atasanmu saja “. Jawab Anto.
“Baik,
besok saya datang ke bu Tini”. Tegas Amar.
Sepulang
dari obrolan itu, Amar tidak bisa tidur memikirkan keluhan dari atasan yang menurut Anto, Amar mulai
dicurigai kurang amanah, mulai disangka korupsi itu gosip yang tengah
berkembang. Wajar saja karena Warnetnya mulai ramai sampai malam hingga dini
hari membuat berita buruk yang menyertainya. Warnet yang dulu sepi,
pelanggannya hanya murid saja sekarang bisa ramai dan pelanggannya dari orang
umum 24 jam lagi. Siapapun akan berprasangka buruk kalau tidak mengetahui cerita
sesungguhnya.
Keesokan
harinya Amar ceritakan oborolan tadi malam dengan istri tercinta, namun
istrinya tidak emosi, hanya menyarankan agar hati-hati dan tidak buru-buru
membela diri dengan membabi buta. Sesampainya di kantor Amar mengira jika
saatnya sudah tepat untuk masuk ke ruang Bu Tini mengutarakan masalah yang
dirasa mengganjal hatinya. Amar ceritakan kalau tadi malam didatangi seorang
kawan senior orang dekat Bu Tini, orang kepercayaan ibu yang mengeluh kalau
Amar mulai tidak jujur, mulai korupsi, mulai diprasangkai buruk dan berita ini
sudah menyebar ke beberapa kawan lain yang seprofesi. Ibu Tini yang dilapori
Amar seperti ini langsung membantah bila informasi itu tidak benar, tidak ada
sama sekali pikiran buruk seperti itu, tidak ada omongan seperti itu pada Amar.
Ibu Tini menyarankan agar tidak mempercayai berita tersebut dan tetap fokus
pada tugasnya menjadi manager Warnet yang sudah dirintisnya sehingga mulai
menghasilkan.
Amar
yang dijelaskan bu Tini itu tidak percaya dan menangis di hadapan bu Tini
karena merasa disalahkan, difitnah dan di”paido”
pekerjaannya. Tidak disemangati, tidak dimotivasi, tidak diarahkan tapi malah
digosip yang tidak benar pada berita bohong itu. Dalam hati kecil ini Amar ini
mungkin ujian baginya untuk meraih yang lebih baik dari ini. Hatinya juga mulai
berpikir untuk mengakhiri bisnis warnet karena dari tahun ke tahun juga mulai
meredup.
Amar
kembali beraktivitas seperti sediakala bertugas sebagai manajer warnet mengelola
bisnis lengkap dengan resiko kerusakan komputer, komplain pelanggan, pembayaran
internet ke ISP (Server Provider)
yang tinggi, pembayaran gaji operator
yang harus tepat waktu menjadi tugas harian dan bulanan Amar. Pengeluaran biaya
operasional warnet saat itu cukup besar, untuk ISP saja bisa mencapai Rp.6 juta
sebulan, untuk gaji mencapai Rp.4,5 jt untuk 3 orang, biaya jastel Rp.1-2 jt
sebulan, untuk kerusakan dan lain-lain bisa kisaran Rp.2-3 jt sebulan. Masih
ada selisih memang, walaupun tipis antara Rp.3-5 juta sebulan sebagai
keuntungan tetapi sekali ada kerusakan dana yang disisihkan bisa ludes, sebab
biaya kerusakan alat juga cukup tinggi seperti mouse, mainboard, VGA, LAN Card,
Headshet dan lain-lain.
Suatu
ketika Amar melaporkan kondisi kerusakan komputer pada pihak manajemen,
dilaporkan bahwa komputer warnet sudah banyak yang rusak, jika diservis dari
dana pemasukan kemungkinan tidak bisa membiayai gaji dan jasa internet, namun
pihak manajemen tidak berkenan malah mengajukan rapat istimewa dengan
menghadirkan Amar selaku pengelola dan beberapa manajer senior yang ada di
dalamnya. Rapat membahas masalah penting terkait ketidaksiapkan warnet
merecover peralatan internet yang semakin parah rusaknya. Hasil rapat
menyimpulkan warnet akan di-lego (dipindah-alihkan) kepada orang yang siap
mendanai kerusakan alat, dan amar menyatakan atau malah diminta secara halus
mundur dari manager warnet.
Bagi
Amar pindah alih dan ganti manajemen warnet tidak masalah, tetapi apakah itu
menyelesaikan masalah, sedang masalah yang sesungguhnya ada pada pembiayaan
alat yang kurang karena penghasilan menurun dan alat banyak yang rusak, secara
manajerial tim masih solid, masih siap bekerja dan berusaha. Namun apa bisa
dikata jika pihak manajemen memutuskan warnet ganti manajemen baru dan Amar
dilengserkan tanpa solusi yang adil pada inti masalah sebenarnya. Inilah awal
terpuruk Amar dimulai. Benar saja, warnet diganti manajemen orang lain semua
alat komputer dimake over, diservis,
direkondisi lagi benahi manajemennya. Semua pegawai/operator diganti oleh
manajer baru itu, Pak Yoyok namanya bersama timnya mengambil alih warnet yang
Amar rintis dari kecil menjadi warnet yang ramai.
Sejak
saat itu Amar kehilangan pekerjaan, kehilangan pendapatan tambahan. Gaji yang
biasanya bisa digunakan mengangsur kredit rumah barunya sekarang nihil, tidak
ada pemasukan dari warnet. Angsuran rumah lewat BMT sedianya 950.000 per bulan pun
nyaris tidak bisa dibayar. Waktu itu Amar sedih luar biasa apa yang
digadang-gadang, diharap-harap, dirintisnya sirna semua tanpa bekas tidak ada
penghargaan sedikit pun terucap dari manajemen telah merintis warnet menjadi
layak jual, tidak ada yang mensupport keterpurukan Amar agar bisa bangkit,
tidak ada yang memberi semangat memberi nasehat untuk bisa menerima masalah
besar ini. Sampai pada suatu saat Amar berdoa di tengah malam tepatnya pukul
03.00, meminta Allah agar melunasi hutang kredit rumah, meminta Allah agar
semua bisa dihadapinya dengan lancar karena semua masalah pasti ada sebab ada
akibat dan semua kesulitan pasti ada kemudahan.
Tidak
butuh waktu yang lama Amar vakum pada
pekerjaan warnet, Amar dapat info dari kawan ada lowongan operator warnet di
daerah Balapan Solo. Amar langsung telisik informasi itu dan benar saja jika
warnet Mas Rony (Pemilik) Zero Spot membutuhkan seorang operator yang punya
pengalaman pada bidang warnet. Amar diterima kerja sebagai operator dan diminta
langsung masuk kerja untuk shift malam. Warnet buka mulai pagi jam 08.00 –
05.00 WIB dibagi dua shift. Amar dapat jatah jaga warnet pukul 18.00 – 03.00 pagi
WIB. Bersyukur pada Allah walaupun jauh dari rumah masih dikasih solusi bisa
bekerja lagi di warnet sehingga bisa mengangsur kredit rumah yang kurang
beberapa bulan lagi. Bersyukur juga jika masalahnya bisa cepat diatasi walaupun
berat dilalui. Malam-malam bekerja di warnet orang, jauh dari rumah hingga dini
hari, pukul 02.00 kadang pukul 03.00 baru pulang dari kerjaan membuat tubuh
Amar kurus, capek, kelelahan dan sedih luar biasa. Kerja ikut orang berbeda
dengan kerja di lingkungan sendiri, ditempat sendiri. Kerja jadi manajer sangat
berbeda kerja jadi operator itulah yang Amar hadapi sekarang kerja ikut orang
tentu waktu, durasi, disiplin, pemasukan warnet dihitung benar tidak ada
kompromi kalau ada yang geser apalagi kurang setoran, harus tepat.
Hari
demi hari Amar jalani pekerjaan sebagai operator warnet kadang suka kadang
duka, suka karena bisa membayar cicilan kredit rumah dan bisa bertahan hidup,
duka karena berat sekali pekerjaan ini, nyaris tiap sore-malam hingga dini hari
tidak ketemu anak istri di rumah, ketemunya sudah tidur semua, sudah lelah
semua di jam-jam 02.00 – 05.00 WIB. Tiap hari Amar menelusuri jalanan pulang bersama
motor bebek Yamaha 75 dengan tangisan, dengan peluh air mata sedih dan berat
sekali hidup ini, kerja hasil tak seberapa tapi dikerjakan karena terpaksa agar
bisa bertahan. Tangisan Amar selalu saja menetes sendiri di dalam hatinya memikirkan
kapan hidup ini bisa lebih baik, kapan bisa bekerja yang tidak menyita waktu
yang berat seperti ini, itu pula yang diungkap dalam doa Amar di tiap
malam-malamnya.
“Allah, Engkaulah penggenggam rejeki seluruh
makhluh di bumi, angkatlah hidup ku dari hidup dan bekerja seperti ini, hidup
yang lebih baik, jangan biarkan waktu ku dan waktu anak istri ku terpisah dari
pekerjaan ini. Jangan biarkan malam ku ada di tempat orang lain sedangkan orang
lain pun tidak bisa membayar selayak yang ku minta”. Seperti itu doa dan pinta
Amar pada Tuhannya.
“Ya
Allah, nasib ku ini sedang berat sedang di bawah, abot (berat) ya Allah abot (berat).
Entaskan saya dari keterpurukan ini jangan berlama-lama engkau beri ujian yang
saya tidak sanggup aku hadapi.” Amar bermohon.
Di
mata kawan-kawan Amar nampak biasa saja, pekerjaan sebagai pengajar di salah
satu sekolah favorit tentu membuatnya lebih tenang. Karena bekerja di warnet
sebenarnya adalah pekerjaan tambahan (sampingan). Walaupun pekerjaan sampingan,
tetapi penghasilannya sangat diharapkan bagi kebutuhan keluarga, sedangkan
pekerjaan pertamanya di sekolah penghasilannya sudah sangat minim
terpotong-potong untuk angsuran bank, kredit motor, koperasi dan lain-lain.
Kawan-kawan Amar yang tahu jika dia bekerja di Warnet pada sore hingga malam
hari sudah diketahuinya, mereka pun sebagian ikut mendukung ada juga yang
menyayangkan nasibnya. Namun Amar menyakini jika ini hanya loncatan sementara
sebagai solusi dari Allah agar dia bisa bertahan untuk beberapa bulan ke depan.
Lebih
dari 8 bulan Amar bekerja di Zeronet Balapan Solo, seperti biasanya menyiapkan
meja komputer bersih, komputer server dan komputer billing berjalan lancar, menyapu lantai dan memberi pengharum
ruangan secara rutin. Suatu malam, seorang kawan dari Jakarta mengabari Amar
lewat Yahoo Messenger jika ada lowongan sebagai relawan Korban Gempa Tsunami di
Aceh. Entah apa yang merasuki pikiran Amar saat itu, dia menyatakan setuju
bergabung dengan lembaga Depdikbud dan UNICEF menjadi relawan pendataan sekolah
korban gempa tsunami di Aceh waktu itu. Amar diminta melengkapi persyaratan,
perijinan dari pihak warnet dan dari pihak sekolah. Amar mengundurkan diri dari
pekerjaan warnet keesokan harinya dan meminta ijin ke sekolah pada hari
berikutnya.
Sungguh
perjuangan yang berat untuk mendapatkan ijin dari sekolah waktu itu, padahal
Amar mendapatkan rekomendasi langsung di Direktor Pendidikan dan Kebudayaan
Jakarta waktu itu bernama Dikmenjur (Direktorat Menengah Kejuruan), Bapak Gatot
HP. Pihak sekolah tidak meloloskan ijin karena alasan tugas sebagai pengajar
terbengkalai dan itu bukan pekerjaan utamanya. Amar berdalih negara lain saja
ikut membantu orang yang sedang kesulitan, kota yang sedang kena bencana alam
dibantu, kita yang punya saudara sebangsa se tanah air tidak membantu, ironis
debat Amar waktu itu. Negara lain memberi bantuan apa saja untuk Aceh agar bisa
rekonsiliasi, agar bisa kembali hidup normal sedangkan kita ditawari menjadi
relawan untuk membantu mereka tidak bersedia, padahal relawannya juga resmi,
hasil kerjasama Depdikbud dengan UNICEF menamai programnya dengan “EMIS (Education Management Information System).
Itulah dasar logika debat Amar saat ditanya pihak sekolah agar surat ijin bisa
diterbitkan.
Kawan-kawan
tentu bertanya mengapa begitu beraninya Amar mau berangkat ke Banda Aceh,
jelas-jelas daerah itu masih belum aman, masih ada pemberontakan GAM (Gerakan
Aceh Merdeka) mungkin juga ada gempa dan tsunami susulan. Amar menjawab, “
Daripada hidupnya hanya bisa meratapi nasib sendiri, sedangkan nasib kita
sendiri masih belum bagus/ layak, saya mencoba bersedekah lewat tangan, tenaga,
pikiran dan waktu saya untuk saudara saya yang kena dampak bencana alam”.
Tegasnya.
Meratapi
perkara mengeluh pada nasib yang dialami adalah sebuah kewajaran setiap
manusia, tetapi ketika nasib kita, rejeki kita sulit bukan berati urusan kita
dengan Tuhan kita selesai. Mungkin saja urusan kita dengan manusia belum
selesai hingga akhirnya Amar tergerak untuk membantu di Aceh, mensedekahkan
dirinya pada pembelaan di penanganan gempa tsunami Aceh. Alasannya hanya itu,
yakni membantu warga Aceh keluar dari krisis utamanya pada sekolah rusak korban
gempa. Nawaitunya berbuat baik pada
anak bangsa, seperti NGO lain negara lain saja membantu bahu membahu
mengentaskan warga Aceh.
Anak,
istri, ibu mertua yang sudah renta Amar tinggalkan pergi ke Nanggro Aceh
Darussalam (NAD), padahal waktu itu harta benda, gaji untuk biaya hidup
sehari-hari saja mungkin sangat-sangat tipis. Amar hanya berpesan pada
istrinya, “Biarlah saya relakan diri untuk diambil tenaga, pikiran dan
keahliannya jika memang diperlukan di sana”. Sambutnya. “Tidak ingin dapat
pamrih, pangkat, gaji, harta dari mereka, yang ku pikirkan bisa sama-sama
bekerja membantu mengentaskan korban”. Pungkasnya.
Dari
Solo naik pesawat ke Jakarta turun di Bandara Sukarno Hatta naik taksi ke
kantor Depdikbud Jakarta. Di sana telah berkumpul sejumlah calon-calon relawan
dari berbagai daerah. Amar diterima staff khusus Posko Gempa Tsunami Aceh dan
langsung mengadakan rapat kecil untuk persiapan diklat operator EMIS selama 2
hari 2 malam. Amar menginap di kos-kosan staff Dikmenjur malam itu, keesokan
harinya mengikuti diklat EMIS bersama tim relawan EMIS. Segala perlengkapan,
bekal, biaya, surat jalan telah siap, tim relawan berangkat ke masing-masing
daerah tujuan. Ada yang ke Banda Aceh, Aceh Besar, Takengon, Loksumawe, Langsa,
Aceh Timur, Aceh Tengah, Bener Meriah dan lain-lain. Amar ditugaskan di Aceh
Timur bersama 10 orang tim relawan di lokasi.
Sesampainya
di Aceh Timur langsung menggelar rapat maraton untuk pendataan, bagi tugas,
bagi pos dan koordinasi ke antar instansi dengan jaringan internet. Pembelian
peralatan internet, pasang jaringan dan lain-lain dikerjakan secara bertahap.
Tanpa
berasa lama sudah 1,5 tahun berlalu di Aceh Timur data selesai lebih cepat,
tugas hampir selesai tinggal ada sesuatu yang mengganjal yakni adakah honor ?
ternyata relawan di sana juga mendapatkan honor yang cukup besar. Gaji relawan
seperti Amar sebagai konsultan saat itu sudah Rp.4,5 juta, sedangkan operator
Rp.1,5 jt dan itu berlangsung 1,5 tahun, nampaknya inilah jawaban dari semua
doa-doa Amar yang merintih tiap malam saat pulang dari warnet itu, mungkin
jalan raya Tirtonadi – Nusukan- Joglo menjadi saksi atas tangisanku tiap pagi
itu. Apa yang tidak dipikirkan oleh saat itu akhirnya terjawab yakni bisa
melunasi hutang kredit rumah secara tunai. Pada akhirnya badai itu pun berlalu
dengan membantu orang lain, membantu orang yang sedang kesulitan sedang terkena
bencana kita juga dibantu oleh Allah.
Karena
hidup harus terus berjalan tiada henti sepanjang nafas masih dikandung badan
maka masalah selalu ada dan solusi pun selalu mengitarinya. Inilah hidup selalu
hadapi masalah dan selesaikan masalah. Jika tidak ingin hidup, mati saja lebih
baik. Maka ada pameo mengatakan mati
lebih mulia dari pada hidup berkubang nista/sengsara. Mendapatkan amanah itu
baik jika dijalankan dengan ikhlas, jika tidak ikhlas lebih baik lepaskan
amanah itu. Karena amanah yang tidak dijalankan berat tanggung jawabnya.
Sepulang
dari Aceh, Amar juga mendapatkan tugas ke Papua Barat untuk program yang sama,
namun tugas yang pertama tidak disetujui atasan karena baru saja pulang dari
Aceh. Dan tugas kedua datang lagi agar Amar membantu di Papua Barat, karena
Amar sudah tercatat sebagai relawan nasional di Dikmenjur dan menyatakan siap
membantu bila dibutuhkan Dikmenjur, saat itu Amar harus berangkat apapun
resikonya. Dan tugas kedua dijalankannya selama 2 bulan saja, karena medan
tugasnya sangatlah berat, membutuhkan biaya transportasi yang sangat mahal
sedangkan biaya operasionalnya terbatas.
Berlanjut
dari Papua ada lagi program keliling Jawa Tengah untuk EMIS-2 yakni pendataan
presensi online yang diterapkan diseluruh SMK se Indonesia. Namun program
berjalan hanya 6 bulan karena saat itu transisisi dari kurikulum KTSP ke
kurikulum 2013 sehingga program EMIS-2 kandas ditengah jalan.
Tidak
lama bersalang waktu Amar dipercaya membuka program keahlian baru namanya
Broadcasting (BC) dan Rekayasa Perangkat Lunak (RPL), Amar ikuti dari awal
mulai proposal ganti-ganti selalu 1-2 tahun terhenti dan dilanjutkan kembali
hingga direalisasi. Jadilah dua program BC dan RPL menjadi jurusan baru Amar
menjadi Ketua Program Keahlian BC, belum genap 1 tahun BC berjalan karena
sesuatu hal yang diluar pengetahuan Amar, dia diganti secara sepihak oleh
manajemen. Tanpa tahu sebab musababnya diganti begitu saja. Mungkin jika
ditelusuri ada benang merahnya karena Amar menjadi Instruktur Nasional (IN)
salah satu jurusan di Makasar beberapa minggu, Amar menjadi instruktur pada
program keahlian ganda yang membuat jabatan Ketua Jurusan diganti sepihak.
Tugas-tugas
terkait penggunaan alat, pengelola lab studio pun dicopot semua juga langsung
diganti oleh orang lain yang dipercayanya. Akhirnya program website, CBT web,
youtube Channel Viska TV Solo pun ikut terpuruk tidak ada contentnya, tidak ada yang mengisi konten, sampai berjalan 1-3
tahun terakhir. Di saat seperti ini yang harus dirasa adalah legowo saja, apa
yang ditarik adalah bukan miliki kita, yang penting Amar tidak melakukan
hal-hal yang dituduhkan atau yang dicurigai. Dari awal pihak sekolah sudah
bilang apa tidak ada serah terima jabatan atau alat saat tugas kapro ke kapro
berikutnya. Amar bilang tidak ada, karena semua berjalan begitu cepat, alat
juga kita dapatkan dan gunakan bersama-sama, dipakai bersama-sama data juga
semua tahu semua paham. Serah terima secara seremonial mungkin tidak dilakukan
tetapi serah terima kewenangan, data itu sudah dilakukan walaupun tidak resmi.
Namun
seperti jawaban itu tidak memuaskan manajemen, pantas saja Amar langsung tidak
dianggap, tidak didata sedikitpun dalam beberapa kesempatan penugasan. Amar
tetap tenang, sabar berdoa dan ikhtiar. Dalam hatinya inilah lakon berikutnya,
alur cerita lanjutan dari sekian banyak alur cerita yang sudah dilalui Amar.
Dan ini kesempatan menengok kembali perjalanan hidup yang belum pudar di dalam
sejarah masa lalu, mungkin ada hal yang terlewati, mungkin ada sesuatu hal yang
terabaikan dalam perjalanan Amar.
Tepat
sekali kasus keterpurukan ini berhikmah manis, adalah keluarga yang selama ini
diabaikan Amar, tidak dianggap hadir oleh Amar sekarang mau tidak mau harus
dianggap, harus diprioritaskan. Keluarga adalah sejarah awal dari karier
seseorang, perhatiannya, atensinya, pengorbanannya adalah benang yang mengikat
pada orang yang dicintai. Amar bisa kuliah dari Sarjana ke Pasca Sarjana,
berprestasi hingga ke propinsi dan nasional bukan karena kemampuan dirinya,
bukan pula prestasinya tetapi karena doa keluarganya.
Amar
sekarang bisa merasakan betapa keluarga hadir pada saat-saat kritis kita
membutuhkan. Betapa rumah tangga ikut berperan pada saat kita mengeluh dan layu
karena masalah yang berat. Betapa kita tidak sadari kalau semua perjalanan
hidup manusia berangkat dari keluarga, dari anak istri, ibu dan bapak. Tanpa
keluarga hidup mungkin tidak bermakna. Sekarang Amar bisa hidup lebih lepas,
lebih legowo, lebih ikhlas menghadapi berbagai badai derita, karena terpuruk
dalam hidup bukan berakhir kiamat dalam berbuat, tetapi terpuruk adalah
pelajaran berharga dalam menapaki kehidupan yang lebih baik, terpuruk bukan
buruk tetapi obat sekaligus sapu untuk membersihkan sisa dendam dalam hati.
Sekarang
kehidupan karier Amar siap menunggu tantangan jaman lagi, menunggui karomah
dari Allah, keajaiban berkah dari Allah untuk dicurahkan pada keluarga Amar.
Kadang Amar sering bercanda dengan istri Ya Allah, kasihlah saya masalah yang
“agak berat” karena di “agak berat” nya masalah itu Engkau kasih lebih pada ku.
Engkau kasih bonus yang luar biasa pada hidupku “. Gitu candanya.
Memang ada benarnya, beberapa kali masalah datang beberap kali pula solusi datang dan penyelesaiannya pun sangat luar biasa. Disadari atau tidak ibarat obat, masalah itu lengkap dengan penyelesaiannya.
Sumber : telah ditulis penulis dalam buku berjudul The Stories of Move On
(((((((((((((((((((())))))))))))))))))