JURNAL 16
COACHING DENGAN SISWA DAN GURU
TENTANG SUATU MASALAH
Oleh : Darsono – SMK Negeri 6
Surakarta
Minggu
ini, saya masih mempelajari Modul 2.3 Coaching. Pembelajaran yang dilaksanakan
adalah Refleksi Terbimbing, yaitu memberikan refleksi atas pembelajaran yang
telah dilaksanakan, meliputi pemahaman sebelum dan sesudah mempelajari modul,
hal yang perlu ditingkatkan, kendala, dan upaya dalam menghadapi kendala. Pada
Demonstrasi Kontekstual, saya melakukan praktik coaching bersama dua siswa
dengan kasus yang berbeda. Untuk memantapkan pemahaman pada materi coaching,
CGP mengikuti Elaborasi Pemahaman bersama instruktur. Minggu ini saya juga
melaksanakan praktik pembelajaran berdiferensiasi yang terintegrasi dengan
Pembelajaran Sosial dan Emosional ⟮PSE).
Pada
jurnal 16 ini saya akan menggunakan Model 3: Six Thinking Hats (Teknik 6 Topi)
1)
Topi putih:
tuliskan informasi sebanyak-banyaknya terkait pengalaman yang terjadi.
Informasi ini harus berupa fakta; bukan opini.
2)
Topi merah:
gambarkan perasaan Anda terkait dengan topik yang sedang dibahas, misalnya
perasaan saat mempelajari materi baru atau saat menjalankan diskusi kelompok.
3)
Topi kuning:
tuliskan hal-hal positif yang terkait dengan topik tersebut.
4)
Topi hitam:
tuliskan kendala, hambatan, atau risiko dari tindakan/peristiwa yang sedang
dibahas.
5)
Topi hijau:
jabarkan ide-ide yang muncul setelah mengalami peristiwa tersebut.
6)
Topi biru: tarik
kesimpulan dari peristiwa yang terjadi, atau ambil keputusan setelah
mempertimbangkan kelima sudut pandang lainnya. Bandingkan dengan tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya.
PROCESS Intinya saya mengambil kesimpulan bahwa coaching
sangat penting dalam membantu siswa dan guru menemukan solusi atas masalah
yang dihadapinya. Coaching bertumpu pada kemampuan coach untuk bertanya,
menggali informasi dari coachee, kemudian mengajak coachee menemukan potensi
terbaiknya untuk merumuskan rencana aksi dan menyepakati tanggung jawab.
Sesungguhnya hal ini sudah sering saya lakukan, hanya saja selama ini
masih lebih didominasi oleh peran guru dalam memberikan tips untuk mengatasi
masalah. Terlepas itu sudah menjadi realitas atau baru
sebatas nama, tetapi sebetulnya ada beberapa hal yang penting untuk diingat,
yaitu: 1.
Memiliki
data yang akurat Data di sini mungkin tidak harus
kita artikan sebagai data dalam pengertian yang formal dan rumit. Data di
sini bisa juga kita artikan sebagai catatan pribadi yang berisikan tentang
gap antara skill yang dimiliki karyawan dengan tuntutan pekerjaan. Bisa juga
berisi masalah yang dihadapi si karyawan dalam kaitannya dengan kinerjanya.
Bisa pula berisi tentang perkembangan si karyawan yang kita coaching itu dari
waktu ke waktu. Dengan memiliki apa yang kita sebut data itu, berarti ketika
kita hendak meng-coach orang, kita sudah tahu apa yang perlu dan apa yang
belum perlu, mana yang perlu ditekankan dan mana yang belum perlu, dan
seterusnya. 2.
Menemukan
metode yang “teachable” 3.
Menghidupkan,
bukan mematikan Ini soal cara bagaimana meng-coach
orang. Meski kita sudah sama-sama tahu bahwa cara yang bagus adalah
menghidupkan semangat orang, tetapi dalam prakteknya belum tentu pengetahuan
itu kita gunakan. Ada cara yang menghidupkan tetapi ada cara yang mematikan,
ada cara yang mendorong tetapi ada cara yang malah menarik. Cara yang kita
gunakan terkadang bisa bertentangan dengan niat yang kita maksudkan. Karena
itu, meski niat kita baik, namun kalau cara yang kita gunakan itu mematikan,
me-looking-down-kan, atau menghinakan, bisa jadi hasilnya bukan malah bagus. |
CREATIVITY Sebagai Coach kita harus mempunyai
keterampilan dalam memberi Pertanyaan-pertanyaan efektif yang
akan diajukan kepada coachee untuk menggali permasalahan yang
terjadi dan coach mendengarkan apa yang menjadi keyakinan dan perhatiaan
coachee sebagai upaya untuk menciptakan komunikasi asertif dengan coachee.
Coach menyimak pada saat coachee berbicara untuk memahami
setiap ucapan yang diucapkan oleh coachee serta ikut serta memberi
pemahaman kepada coachee tentang pentingnya menyelesaikan masalahnya sendiri dengan
potensi coachee sendiri. Sebagai
coach tidak hanya menjadi komunikator yang baik tetapi juga harus
mampu menuntun coachee membuat tindakan serta alternative jalan
yang mungkin dipraktekkan coachee dan memberikan dorongan kepada coachee
untuk memilih ide dan keputusan. Dorongan coach untuk coachee dalam
menyusun rencana penyelesaian dengan waktu yang tepat, jelas dan spesipik
disuaikan dengan kebutuhan. Coach juga harus mampu mendorong coachee
untuk memilih orang yang akan dipercayakannya dalam menyelesaikan masalahnya.
Coach juga harus memberikan dorongan kepada coachee untuk
mempertanggungjawabkan terhadap aksi nyata yang akan diambil dan dijalankan
dan capaian rencana secara spesipik disesuaikan dengan jadwal yang telah
dibuatnya. Kristin Constable, Forbes
Councils Member, mengatakan ada empat tahap dalam proses kerja coaching,
yaitu:
Coaching
menantang cara berpikir seseorang, sehingga ia dapat mempertanyakan cara
menjadi sadar dan tidak sadar dan berinteraksi dengan dunia tanpa ego.
Melalui
coaching, individu dapat menyebutkan dan mendefinisikan masalah nyata secara
berfokus pada satu bagian pada satu waktu serta memisahkan fakta dari
perasaan.
Coaching memungkinkan
seseorang untuk membatasi keyakinan dan mengeksplorasi kemungkinan untuk
berubah. Karena coach menciptakan koneksi saraf baru yang mempromosikan cara
berpikir dan berperilaku baru.
Seseorang
dapat dapat berkomitmen pada rencana atau latihan untuk memperbaiki cara
berpikir dan berperilakunya. Hal itu mendukung cara hidup yang ia inginkan. Ide-ide
pada coaching adalah tentang Negative to Positive Feeling (N2P) yakni: 1.
Mengajak coachee untuk
melihat perspektif lain dari sebuah masalah. 2.
Merubah perasaan
negatif menjadi positif. 3.
Coaching tidak dapat
dilakukan saat coachee berada dalam keadaan negatif. Penerapannya
adalah dengan 3 R yakni Relax, Relate dan Reframe. Relax
artinya menangani coachee dengan pertanyaan-pertanyaan yang santai, tidak
menghakimi, tidak menyudutkan Relate
artinya menjalin hubungan dengan keakraban coach dan coachee. Reframe
artinya membangun kembali potensi yang tenggelam dan dibangkitkan lagi untuk
disatukan dipadukan. |
FACTS Tanggal
1 April 2022 Coaching
Siswa Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran minggu ini,
saya merasa menikmati saja alur dan perjalanannya, karena beberapa tagihan
tugas mengharuskan berupa video. Saya merancang kegiatan coaching, berlatih
bersama siswa, dan melakukan perekaman dan editing video. Semua adalah
kegiatan yang menuntut kompetensi video editing dan teknik pengambilan gambar
serta talenting yang baik sehingga kegiatan ini bisa dilakukan, kebetulan ini
adalah bagian dari mapel saya yakni Videografi. Ditambah melihat siswa yang
semangat, saya menjadi termotivasi untuk melaksanakan praktik coaching dengan
segenap kekuatan saya. Sesi elaborasi pemahaman bersama instruktur memberikan
tambahan pemahaman pada praktik coaching yang sangat bermanfaat. Saya
melakukan coaching siswa sebanyak 2 orang kasus yang berbeda dan ini adalah
kasus yang real (nyata) dialami siswa hanya diulang dan dijadikan model TIRTA
sebagai penerapan coaching sesuai materi. Diulang olah kasusnya dengan
pendekatan TIRTA dan direkam. Kasus
pertama tentang siswa yang tugasnya terlambat hingga raportnya belum KKM
karena sesuatu hal. Kasus
kedua tentang siswa yang putus hubungan dengan kedua orang tuanya karena
keduanya berpisah dan siswa tersebut mencari solusi mengatasi masalahnya
sendiri hingga berakibat nilai raport banyak yang tidak tuntas. Link
: https://youtu.be/CAtJcgXdnT0 Tanggal
2 April 2022 Coaching
Guru Pada
tanggal 2 April 2022 saya melakukan coaching dengan teman guru, tema yang
diambil adalah pendaftaran Guru Penggerak Angkatan 7, pengambilan gambar saya
minta salah satu siswa kelas XII Multimedia. Lokasi pengambilan gambar di
salah satu ruang studio. Hasil gambar saya kirim ke LMS sebagai penugasan
aksi nyata (latihan praktek coaching) sebelum datang Pendamping Praktek CGP. Kasus
guru ini juga merupakan kasus nyata, dimana ybs pernah diajak ikut mendaftar
Pengajar Praktik, namun memilih CGP atas kemauan dan hasil konsultasi
(konseling) dengan saya..Di tengah perjalanan ybs mengundurkan diri tanpa
alasan yang jelas, diduga dipengaruhi oleh dirinya, pekerjaannya dan
teman-temannya. Setelah
didekati dan dicoaching sebisanya akhirnya ybs bersedia ikut mendaftar CGP
lagi. Potret inilah saya rekam ulang dengen pendekatan model TIRTA. Link
: https://youtu.be/J6ppe9R5WU0 |
BENEFITS Saya mendapatkan manfaat yang luar biasa
setelah menerima materi teori dan praktek coaching, yang selama ini masih
seperti bukan menjadi bagian tugas guru ternyata sangat penting perannya
menyelesaikan banyak masalah belajar mengajar. Keterampilan yang harus
dimiliki seorang Coach ada empat kelompok kompetensi dasar bagi sesorang
coach : 1. Keterampilan
membangun dasar proses coaching 2.
Keterampilan
membangun hubungan baik 3.
Keterampilan
berkomunikasi 4.
Keterampilan
memfasilitasi pembelajaran Adapun
Prinsip Coaching adalah : 1. Kolaborasi coach dan coachee 2.
Coach
menuntun, memfasilitasi, memaksimalkan potensi coachee 3.
Berfokus
pada solusi 4.
Berorientasi
pada hasil dan 5.
Sistematis Manfaat
lain adalah saya bisa membedakan mana coaching, mentoring dan konseling,
ternyata ketiganya berbeda-beda. Mentoring
sebagai proses mentor menggunakan pengalamannya untuk membantu orang lain
mengatasi masalah. Konseling
adalah hubungan bantuan antara konselor dan klien yang difokuskan pada
pertumbuhan pribadi dan penyesuaian diri serta pemecahan masalah. Coaching
Jalinan kemitraan yang setara dengan coachee untuk mengambil keputusan
sendiri. Tugas Coach hanya mengarahkan melalui pertanyaan-pertanyaan yang
menuntun. Coaching biasanya melatih seseorang untuk mampu
menghasilkan performa yang lebih baik, menjadi pemimpin bagi diri sendiri,
menjadi manusia pembelajar, menyesuaikan dengan kondisi sekarang untuk terus
berkembang dan tumbuh, serta mengaktualisasikan ide dan pemikirannya,
sehingga orang tersebut bisa mengandalkan diri sendiri untuk menghasilkan
keputusan dan tindakan yang “lebih” baik lagi. Benefit Coaching
: 1.
Memperbaiki
Retensi Karyawan 2.
Memperbaiki
Performa Kerja 3.
Membentuk
Komunikasi Positif Di Dalam Organisasi |
FEELINGS Coach mana yang tidak ikut bahagia kalau di akhir
sesi coaching, melihat Coachee-nya tersenyum lebar dengan mata berbinar.
Coachee menjadi tercerahkan, semakin bersemangat dengan segudang insight
baru, dan dengan suara lantang menyerukan langkah selanjutnya yang akan ia
wujudkan. Tapi mari
kita jujur, Coach. Kenyataannya belum semua sesi coaching kita berjalan 100%
efektif. Bisa jadi disebabkan oleh cara bertanya atau jenis pertanyaan yang
kita ajukan belum tepat, atau mungkin kita sebagai Coach ikutan stuck
saat bertemu Coachee yang stuck, keras kepala, dan
menutup diri dengan jutaan alasan. Coaching adalah tentang “mendengarkan” (
Listen ) bukan hanya “mendengar” (earn) Jadi harus fokus perhatian pada
coachee. Coaching bukan mentoring, bukan pula
terapi atau konseling. Coaching lebih menjurus kepada memfasilitasi melalui bertanya, memberikan feedback dan
berperan sebagai ahli. |
CAUTIONS Kendala yang
saya hadapi adalah mengelola membuat pertanyaan yang mengajak, membantu
merefleksi hingga mengarahkan coachee sehingga tergerak potensinya muncul dan
melakukan perubahan pada solusi yang diinginkan. Pertanyaan yang diajukan Coach bisa jadi sangat menantang bagi Coachee,
membongkar zona nyaman dan menata ulang kebiasaan atau pola pemikiran
(mindset) yang lama. Memang rasanya tidak nyaman bagi Coachee, tapi sebagai
Coach kita sadar disanalah titik balik transformasi Coachee berawal. Maka
wajar jika Coachee menjadi resisten lalu stuck dalam
merespon pertanyaan Coach. Bagaimana Bisa? Ini cara Coachee mendengar,
menangkap dan memproses pertanyaan dari Coach. Beberapa hal yang kerap menghambat terlaksananya
kegiatan yang mulia ini, misalnya: 1.
Budaya
menghakimi/ memarahi Kita langsung memarahi karyawan
saat melakukan kesalahan. Marah terkadang tidak bisa dihindari tetapi yang
kerap kita lupakan adalah apa yang kita lakukan setelah marah. Kalau yang
kita lakukan membenci atau menjauhi, tentu akan berbeda efeknya dengan ketika
yang kita lakukan setelah itu adalah mendekati dan meng-coach-nya. 2.
Budaya
membiarkan Kita membiarkan karyawan bekerja
sendiri-sendiri karena kita malas atau tidak peduli dengan skill mereka.
Membiarkan seperti ini tentu berbeda dengan membiarkan yang punya pengertian
memberi kesempatan untuk mandiri dalam menerapkan pengetahuan. 3.
Budaya
mengerjakan sendiri Kita menangani sebagian besar
pekerjaan dan enggan untuk mendelegasikannya kepada yang lain karena kurang
percaya. 4.
Budaya
mengharapkan hasil yang instan 5.
Budaya
arogansi birokrasi Kita menjaga jarak dengan karyawan
untuk melindungi gengsi atau kita enggan turun ke bawah. Umumnya kita,
semakin tinggi jabatan atau posisi, justru semakin jauh dari realitas yang
bersentuhan langsung dengan manusia dan masalahnya di bawah. Kalau mengacu
pada teori pendidikan, meng-coach karyawan itu sebenarnya juga termasuk
mendidik. Bicara soal pendidikan ini mungkin ada satu hal yang perlu kita
ingat bahwa metode yang kita gunakan dalam mendidik orang itu jauh lebih
berperan penting ketimbang materi yang kita sampaikan. Materi yang bagus akan
diresponi tidak bagus kalau metode yang kita gunakan tidak cocok dengan
keadaan orang yang kita coach. |
Disadur
dan diolah dari berbagai sumber.